Senin, 06 April 2015

Dry Clean Menurut pandangan Islam

 PENDAHULUAN

A.        Latar belakang
            Mencuci merupakan aktivitas rumah tangga yg telah dilakukan manusia selama bertahun-tahun.Tidak perduli apakah mencuci pakaian secara manual ditepi sungai dengan menggunakan batu dan papan penggilas, atau mencuci pakaian secara otomatis dengan hanya menekan tombol-tombol pada mesin cuci yg telah terprogram. Kedua tehnik mencuci pakaian ini sama-sama menggunakan air dan tambahan sabun/deterjen (kimia alkali) untuk mengangkat kotoran minyak dan lainnya.
Lalu apa yg dimaksud dengan mencuci Dry Cleaning? Berbeda dengan tehnik mencuci pakaian biasa, dry clean yg kalau dibahasa indonesiakan memiliki arti "cuci kering", adalah proses mencuci pakaian tanpa menggunakan air. Tetapi bukan berarti tehnik mencuci ini benar-benar kering atau tidak basah. Istilah dry clean ini hanya diciptakan karena tidak menggunakan air dalam proses pembersihannya tetapi menggunakan bahan cairan solvent (yg bahan dasarnya dari minyak mentah).
Seiring perkembangan jaman, banyak orang yang menggunakan cara dry clean karena dianggap lebih mudah dan praktis dan juga lebih hemat tenaga dan murah. Namun bagaimana pandangan islam dalam hal ini, dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalah yang insyaallah dapat memberikan pengetahuan tentang dry clean dan hukumnya.

B.        Rumusan masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah kami paparkan maka rumusan masalah yang kami ambil:
1.      Apa pengertian dari Dry clean?
2.      Bagaimana proses atau cara kerja dary dry clean?
3.      Bagaimana pandangan islam terhadap dry clean dan hukumnya?

C.        Tujuan penulisan
            Tujuan penulisan dari makalah ini antara lain :
1.          Untuk memberikan pengetahuan lebih tentang dryclean.
2.          Untuk mengetahui pandangan islam terhadap dryclean.

D.        Manfaat penulisan
            Kami berharap makalah ini mampu menambah wawasan pembaca mengenai Dry Clean dalam pandangan islam.
























PEMBAHASAN

A.        Pengertian Dryclean
            Pada umumnya bagi kita mencuci merupakan rutinitas waktu tertentu yang bertujuan membersihkan pakaian yang kotor akibat terkena noda atau setelah dipakai, kita hanya mengenal cara mencuci dengan mempergunakan air serta sabun cuci. Namun perkembangan industri tekstil yang sedemikian pesat, maka cara pencucian pakaian yang sederhana tadi dirasa tidak lagi cukup memuaskan. Sehingga ditemukanlah cara pencucian yang kita kenal dengan istilah dryclean, cara ini terutama untuk mencuci jenis tekstil atau produk tekstil berasal dari serat benang wool, sutera, kulit hewan, polyamida ( nylon ) dan atau campurannya.

Cara pencucian dryclean ini ditemukan oleh seorang Perancis yang bernama Jean Batiste Jolly pada tahun 1825, yang kemudian dikembangkan oleh Pullars pada tahun 1866 sebagai suatu industri yang menjadi cikal bakal munculnya istilah laundry dan dryclean seperti yang kita kenal hingga saat ini.

Perbedaan Laundry dan Dryclean terletak dari media yang digunakan dimana :
  1. Laundry adalah cara pencucian tekstil atau produk tekstil dengan mempergunakan air ( dingin atau panas ) sebagai media pembasahnya, ditambah dengan bahan-bahan pencuci lainnya ( sabun, alkali, asam cuka, pemutih, pelembut dan atau kanji ) yang diperlukan.
  2. Sedangkan “ Drycleaning “ adalah cara pencucian tekstil atau produk tekstil dengan mempergunakan minyak khusus jenis natural petroleum solvent ataupun synthetic petroleum solvent yang banyak dipakai dengan cukup aman, yaitu jenis “ perchloroethylene ( perch ) “. Namun dalam kondisi tertentu apabila diperlukan dapat pula ditambah jenis bahan pembersih lainnya ( misalnya sabun drycleaning ), termasuk bahan penetral bau minyak tersebut. 
Perchloroethylene ( perch ) adalah berupa cairan minyak yang tidak dapat terbakar, tidak berwarna, dapat menguap pada titik didih antara 110 derajat celcius dan berbau khas. Penemu sekaligus pelopor pembuat petroleum solvent adalah seorang berkebangsaan Amerika Serikat, bernama WJ Stoddard. Karena jasanya maka oleh institute-institute di Amerika, namanya dikaitkan dengan hasil temuannya tersebut, yang dikenal sebagai “ Stoddard Solvent “.





B.        Proses dan tahapan dry clean.
1.      Pakaian Anda di tag dengan label yang sangat kecil dicetak dengan kode bar yang unik pada pakaian Anda. Dengan menempatkan label di tempat yang mencolok pada pakaian Anda. Ini adalah tindakan untuk menjaga pakaian Anda supaya tidak campur dengan punya orang lain. Kemudian diperiksa pakaian Anda,mungkin ada mata kancing yang hilang, terkena noda, dan terpenting memastikan pakaian tersebut memang pencuciannya harus pakai sistem dry clean,yaitu dengan melihat label gambar di pakaian. 
2.      Noda pada pakaian dibersihkan  sebelum proses drycleaning. Cukup oleskan air pada pakaian yang terdapat noda dan tambahkan pelarut khusus untuk noda membandel (noda karena lemak atau minyak). Kemudian, tekan dan usapkan dengan lembut pada kedua sisi kain sehingga noda tersebut memudar. Kemudian, bilas kain, biarkan kering dan selanjutnya proses dry cleaning.
3.      Proses Drycleaning - Pakaian kotor dimasukkan ke dalam mesin dan dicuci dengan solvent.Pakaian kotor ditempatkan ke dalam ke dalam keranjang pembersih, bentuknya hampir sama dengan mesin cuci front loading , bahannya stainless steel berlubang di mana keranjang stainless tersebut berputar. Kotoran akan dihapus dari pakaian Anda. Sistem ini memungkinkan untuk memulihkan hampir semua pelarut yang digunakan selama pencucian, yang lebih baik bagi lingkungan.Setelah pencucian selesai, pakaian diperiksa kembali,apakah tetap ada noda?. Dalam kebanyakan kasus, semua noda bisa terhapus. Tetapi beberapa noda membandel mungkin tidak sepenuhnya bisa dihapus karena pengaruh cuaca, waktu, keausan pakaian, memudarnya warna.
4.      Membuat perbaikan yang diperlukan pada pakaian yang telah dicuci kering, pakaian kemudian dibentuk ulang, dipres setrika uap, dan . Selanjutnya pakaian masuk ke bagian pengepakan,  melalui pemeriksaan kualitas lalu identifikasi tag kecil dengan kode bar di atasnya yang sebelumnya dipasang untuk mengetahui siapa pemilik pakaian tersebut, lalu dikumpulkan dan dibundel. Pakaian sudah bersih siap dikirim kembali ke pemiliknya.[1]

C.        Membersihkan najis dalam islam
            Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini.


Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci.
Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
Najis terbagi tiga antara lain
1. Najis Mugallazah (Najis berat)
Contohnya : najis anjing
Cara mensucikannya : Hendaknya dibasuh tujuh kali dengan air suci lagi mensucikan, satu diantaranya diselangi dengan tanah yang dicampur air.
2. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Contoh : air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI
Cara mensucikannya : cukup dengan memercikan air pada benda yang terkena najis
3.Najis Mutawassitah (najis pertengahan).
najis pertengahan terbagi dua macam yaitu :
a. Najis Hukmiah yaitu najis yang kita yakini adanya, namun tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya. seperti air kencing yang sudah kering. cara mensucikannyanya : cukup mengalirkan air diatas benda yang terkena najis

b. Najis ‘ainiyah yaitu najis yang masih ada zat, warna, rasa, baunya. cara  mensucikannya : dengan mencucinya.[2]
CARA MEMBERSIHKAN NAJIS
Sudah dimaklumi bahwa Sayi’at Allah dan Rasul-Nya telah memperkenalkan kepada kita eksistensi (keberadaan) barang yang najis atau yang terkena najis dan juga telah menjelaskan kepada kita kaifiyah, cara membersihkannya. Kita wajib ittiba’ (mengikuti) petunjuk-Nya dan merealisasikan perintah-Nya. Misalnya, manakala ada dalil yang memerintahkan mencuci sampai tidak tersisa bau, atau rasa ataupun warnanya, maka itulah cara membersihkannya. Apabila ada dalil yang menyuruh dituangkan, atau disiram, atau digosok dengan air, atau digosok ke tanah, ataupun sekedar dipakai berjalan di permukaan bumi, maka itulah cara mensucikannya. Dan ketahuilah bahwa air merupakan pembersih aneka najis yang utama dan pertama. Hal ini didasarkan pada penjelasan Rasulullah saw tentangnya, dimana Rasulullah saw bersabda:
قد جعل الله الماء طهورا
“Allah telah menciptakan air sebagai pembersih,”
Oleh sebab itu, tidak boleh bergeser kepada pembersih lain (selain air) kecuali apabila ada kejelasan dari Nabi saw. Jika tidak ada dalilnya, maka tidak boleh. Karena beralih dari sesuatu yang sudah dimaklumi sebagai pembersih (air) kepada sesuatu yang tidak diketahui berfungsi sebagai pembersih, ini berarti menyimpang dari ketentuan Syari’ah.[1]
Jika kita sudah memahami apa yang diuraikan di atas, maka ikutilah penjelasan syara’ perihal sifat dan kiat membersihkan barang-barang yang najis atau yang terkena najis:


Semua ulama' madzhab 4 sepakat bahwa benda yang digunakan untuk bersuci (bersuci dari najis dan hadats) adalah air mutlak. Hal ini didasarkan atas firman Allah;
وَيُنَزِّل عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
"..dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu". (QS. Al-Anfal: 11)[3]
dan hadits;
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
"Dari Asma' dia berkata, "Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, 'Pakaian salah seorang dari kalangan kami terkena darah haid. Apa yang harus dia lakukan? ' Beliau bersabda: "Keriklah darah itu (terlebih dahulu), kemudian bilaslah ia dengan air, kemudian siramlah ia. Setelah itu (kamu boleh) menggunakannya untuk menngerjakan shalat." (Shahih Muslim, no.291).
            Sedangkan pencucian dengan tanpa menggunakan air, semisal karena sudah kering terkena sinar matahari atau hembusan angin, hukumnya diperselisihkan diantara ulama':
1. Menurut mayoritas ulama', pencucian dengan cara tersebut tidak bisa menjadikan suci benda yang terkena najis, ini merupakan pendapat madzhab syafi'i, maliki, dan hanbali.
2. Menurut pendapat hanafi penyucian dengan cara tersebut sudah mencukupi jika najisnya sudah benar-benar hilang tanpa bekas, sebab tujuan dari penyucian suatu benda adalah menghilangkan rasa, bau dan warna najis yang menempel.[4]
Cara menghilangkan atau menyucikan najis menurut empat madzhab
·         menghilangkan najis dengan benda cair selain air
            Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Masalah dry cleaning ternyata telah dibahas tuntas oleh Madzhab Hanafi dalam kitab-kitab fiqihnya. Menurut madzhab ini, cara menghilangkan najis tidak hanya dibatasi dengan alat-alat yang telah dipaparkan oleh pengikut Syafii. Selama maksud dan tujuan dari pensucian benda tersebut telah dihasilkan maka benda itu dihukumi suci dan boleh dimanfaatkan kembali. Oleh karena itu, pensucian benda atau pakian dengan cara pengeringan baik melalui sinar matahari maupun lainnya sudah sangat mencukupi. Karena inti dan tujuan dari penyucian benda itu adalah menghilangkan rasa, bau dan warna najis yang menempel. Bukankah cara ini lebih simpel dan menjadikan pakaian kesayangan kita akan terasa semakin awet serta jauh dari kerusakan.[5]
Rujukan imam hanafi Ini berdasarkan firman Allah SWT,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)
Maksudnya, “Dan pakaianmu, maka hendaklah engkau bersihkan.” (Al-Muddathir: Suruhan membersihkan itu adalah bersifat mutlak, tanpa mengaitkannya dengan sesuatu seperti air. Justeru, sesiapa yang membataskannya hanya membasuh dengan air sahaja, maka ia telah menambah nas tanpa di sandar kepada dalil.[6]

Pendapat kedua, najis tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Ini pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad dan Zafar dari madzhab Hanafi.
·         menghilangkan najis dengan alat modern
o   menghilangkan najis dengan uap
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis. Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis. Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan memakai air untuk menghilangkan najis.
·         Menghilangkan najis dengan digaruk dan digosok
Ada tiga pendapat ulama dalam soal in:.
Pendapat pertama: Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggosok najis dapat menyucikan pada sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus kaki khusus musim dingin). Maka menggosok tidak dapat menyucikan baju kecuali mani (sperma) saja. Mereka mensyaratkan najis tersebut harus berupa benda padat (jazm). Apabila berupa kencing maka tidak dapat disucikan dengan digosok atau dikerik dan harus dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua tentang apakah disyaratkan dalam benda padat itu kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri mensyaratkan harus kering. Kalau basah maka harus dibasuh dengan air. Sedangkan Abu Yusuf tidak mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat yang basah juga bisa disucikan dengan digosok atau dikerik.
Pendapat kedua, madzhab Maliki membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Apabila kaki terkena najis, maka harus disucikan dengan air. Adapun sandal dan muza (khuf), maka menggosok hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan dan kencingnya baik kering atau basah. Apabila najisnya itu selain dari kotoran hewan dan kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.
Pendapat ketiga, wajib membasuh kaki perempuan dan muza secara mutlak. Ini pendapat Qaul Jadid dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim dari madzhab Syafi'i adalah membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Maka, kaki wanita harus dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak perlu membasuh najis yang mengenai bagian bawah sandal setelah digosok apabila dalam keadaan kering.
·         Menghilangkan najis dengan sinar matahari
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini.
Pendapat pertama, madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi apabila terkena najis lalu kering oleh sinar matahari maka ia menjadi suci dengan kesucian yang bersifat dugaan (dzanni) yakni boleh melakukan shalat di tempat itu tapi tidak boleh bertayammum dengannya karena salah satu syarat tayammum harus dengan tanah yang pasti sucinya (QS An-Nisa 4:43).

Pendapat kedua, madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Zafar dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering. Maka tidak boleh melaksanakan shalat di tempat itu juga tanahnya tidak boleh dibuat tayammum.[7]
            Jadi kesimpulannya, pencucian dengan cara dry clean menurut pendapat mayoritas ulama' belum dianggap suci sebelum dibilas dengan air. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah sudah dianggap suci. Wallahu a’lam.ه
Larangan Tentang penggunaan PERC Pada Dry Clean
            Perancis telah memutuskan untuk melarang bahan kimia utama yang digunakan dalam dry cleaning. Perkloroetilena, juga dikenal sebagai PERC atau tetrachloroethylene, adalah pelarut teratur digunakan dalam dry cleaning. Ini cairan bening untuk menghilangkan noda dan kotoran dari semua jenis kain. Ini efektif dan murah, itulah sebabnya 95% dari pembersih kering di Eropa menggunakannya setiap hari. Tapi, perkloroetilena juga merupakan bahan kimia beracun. Badan Internasional Organisasi Kesehatan Dunia untuk Penelitian Kanker daftar perkloroetilena kategori A2 mereka, berarti itu 'mungkin karsinogenik bagi manusia'.
            Sebagai tanggapan, pemerintah Perancis telah memperkenalkan hukum baru yang melarang penggunaan PERC di pendirian dry cleaning. Larangan itu mulai berlaku penuh pada tahun 2020. Langkah ini mengikuti hukum yang serupa berlalu di Denmark dan Amerika Serikat.
            Nicolas de Bronac adalah pendiri Sequoia, bisnis dry cleaning hijau di Perancis. Dia telah menyambut keputusan pemerintah. Empat tahun lalu, ia mendirikan sebuah perusahaan, yang menggunakan silikon cair bukan PERC untuk mengeringkan pakaian bersih. "Konsep kami adalah bertanggung jawab. Itu lebih baik bagi orang-orang yang bekerja di toko karena perkloroetilena sangat berbahaya," kata de Bronac dalam sebuah wawancara. Silikon cair adalah tidak berbau, tidak berwarna pelarut, biasanya digunakan dalam kosmetik, shampoo dan deodoran. GreenEarth perusahaan AS Membersihkan mengembangkan proses silikon dry cleaning cair pada tahun 1999. Ketika dilepaskan ke lingkungan, silikon cair terurai menjadi pasir, air dan karbon dioksida. Silikon cair dipandang sebagai alternatif terbaik untuk PERC, tetapi beberapa ilmuwan telah menyatakan keprihatinan bahwa bahan kimia ini digunakan sebelum analisis lengkap dampaknya terhadap manusia dapat diselesaikan. Pemerintah Kanada dan Inggris telah menyatakan silikon cair 'tidak berbahaya' bagi lingkungan tetapi, secara global, ada konsensus ilmiah.
            Sebagai bagian dari larangan PERC dry cleaning, pemerintah Perancis berencana untuk menghapus 4800 mesin perkloroetilena seluruh negeri. Ini berarti banyak pembersih kering tradisional akan swapping PERC untuk metode yang lebih ramah lingkungan.
            Selain tentang cairan PERC ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam pemakaian Cairan ini. Berikut merupakan kutipan dari bebrapa Blog yang membahas masalah Dry clean
Syahril mengatakan, kebanyakan kedai cucian kering atau dry cleaning di negara ini masih menggunakan bahan yang dipanggil solvent perchloroethylene (Perc).
” Perc tersebut biasanya digunakan berkali-kali bagi mencuci baju dengan dikitar semula. Hanya setelah Perc didapati kotor, proses penyulingan atau distillation digunakan bagi membuang kotoran.
” Perc yang dikitar semula itu akan menyebabkan ia berubah menjadi mutanajis atau sekurang-kurangnya mustaqmal, sedangkan dalam Islam untuk mencuci kita hanya dibenarkan menggunakan air mutlak[8]








PENUTUP
           
            Dari kesimpulan diatas bukan berarti Dry clean dilarang dalam islam, selama pakaian yang dicuci dengan Dry clean tidak terdapat najis, kami rasa tidak apa-apa. Yang perlu diingat adalah bahwa terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
            Jadi kesimpulannya, pencucian dengan cara dry clean menurut pendapat mayoritas ulama' belum dianggap suci sebelum dibilas dengan air ( Najisnya belum hilang ). Sedangkan menurut imam Abu Hanifah sudah dianggap suci (Najisnya diangap hilang ).
            Terlebih lagi adanya larangan tentang cairan yang digunakan dalam Dry clean Alangkah baiknya jika Kita tetap menggunakan air (mutlak) sebagai  syarat utama dalam mengghilangkan najis pada pakaian yang sudah terjamin dalam segi kesehatannya.Wallahu a’lam bish Shawabi.
.







DAFTAR PUSTAKA
http://neatlaundry.blogspot.com/2012/11/dry-cleaning-proses.html, diakses pada 22 Februari 2015.
http://www.fikihkontemporer.com/2013/11/hukum-pencucian-dry-clean-tanpa.html, diakses pada 22 Februari 2015.
http://www.alkhoirot.net/2012/05/najis.html, diakses pada 22 Februari 2015.
https://syahrilkadir.wordpress.com/2012/04/19/dry-cleaning-haram/, diakses pada 22 Februari 2015.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf. Bandung: PT. Alma’rif,1997.







                [1] http://neatlaundry.blogspot.com/2012/11/dry-cleaning-proses.html, diakses pada 22 Februari 2015.
                [2] https://fiqihimamsyafii690site.wordpress.com/tag/cara-membersihkan-najis/, diakses pada 22 Februari 2015.

                [3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT. Alma’rif,1997), h.35
                [4] http://www.fikihkontemporer.com/2013/11/hukum-pencucian-dry-clean-tanpa.html, diakses pada 22 Februari 2015.
                [5] http://green.kompasiana.com/limbah/2010/10/19/islam-dan-dry-cleaning-294812.html, diakses pada 22 Februari 2015.
                [6] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT. Alma’rif,1997), h.45.
                [7] http://www.alkhoirot.net/2012/05/najis.html, diakses pada 22 Februari 2015.
                [8] https://syahrilkadir.wordpress.com/2012/04/19/dry-cleaning-haram/, diakses pada 22 Februari 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar