PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Mencuci merupakan aktivitas rumah tangga yg telah dilakukan manusia selama
bertahun-tahun.Tidak perduli apakah mencuci pakaian secara manual ditepi sungai
dengan menggunakan batu dan papan penggilas, atau mencuci pakaian secara
otomatis dengan hanya menekan tombol-tombol pada mesin cuci yg telah
terprogram. Kedua tehnik mencuci pakaian ini sama-sama menggunakan air dan
tambahan sabun/deterjen (kimia alkali) untuk mengangkat kotoran minyak dan
lainnya.
Lalu apa yg dimaksud dengan mencuci Dry Cleaning? Berbeda dengan tehnik mencuci pakaian biasa, dry clean yg kalau dibahasa indonesiakan memiliki arti "cuci kering",
adalah proses mencuci pakaian tanpa menggunakan air. Tetapi bukan berarti
tehnik mencuci ini benar-benar kering atau tidak basah. Istilah dry clean ini
hanya diciptakan karena tidak menggunakan air dalam proses pembersihannya
tetapi menggunakan bahan cairan solvent (yg bahan dasarnya dari minyak mentah).
Seiring perkembangan
jaman, banyak orang yang menggunakan cara dry clean karena dianggap lebih mudah
dan praktis dan juga lebih hemat tenaga dan murah. Namun bagaimana pandangan
islam dalam hal ini, dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalah yang
insyaallah dapat memberikan pengetahuan tentang dry clean dan hukumnya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah kami paparkan maka
rumusan masalah yang kami ambil:
1. Apa pengertian dari Dry clean?
2. Bagaimana proses atau cara kerja dary dry clean?
3. Bagaimana pandangan islam terhadap dry clean dan hukumnya?
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini antara lain :
1.
Untuk memberikan
pengetahuan lebih tentang dryclean.
2.
Untuk mengetahui
pandangan islam terhadap dryclean.
D. Manfaat penulisan
Kami berharap makalah ini mampu menambah wawasan pembaca
mengenai Dry Clean dalam pandangan islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dryclean
Pada umumnya bagi kita
mencuci merupakan rutinitas waktu tertentu yang bertujuan membersihkan pakaian
yang kotor akibat terkena noda atau setelah dipakai, kita hanya mengenal cara
mencuci dengan mempergunakan air serta sabun cuci. Namun perkembangan industri
tekstil yang sedemikian pesat, maka cara pencucian pakaian yang sederhana tadi
dirasa tidak lagi cukup memuaskan. Sehingga ditemukanlah cara pencucian yang
kita kenal dengan istilah dryclean, cara ini terutama untuk mencuci jenis
tekstil atau produk tekstil berasal dari serat benang wool, sutera, kulit hewan,
polyamida ( nylon ) dan atau campurannya.
Cara pencucian dryclean
ini ditemukan oleh seorang Perancis yang bernama Jean Batiste Jolly pada tahun
1825, yang kemudian dikembangkan oleh Pullars pada tahun 1866 sebagai suatu
industri yang menjadi cikal bakal munculnya istilah laundry dan dryclean
seperti yang kita kenal hingga saat ini.
Perbedaan Laundry dan
Dryclean terletak dari media yang digunakan dimana :
- Laundry adalah cara pencucian tekstil
atau produk tekstil dengan mempergunakan air ( dingin atau panas ) sebagai
media pembasahnya, ditambah dengan bahan-bahan pencuci lainnya ( sabun,
alkali, asam cuka, pemutih, pelembut dan atau kanji ) yang diperlukan.
- Sedangkan “ Drycleaning “ adalah cara
pencucian tekstil atau produk tekstil dengan mempergunakan minyak khusus
jenis natural petroleum solvent ataupun synthetic petroleum solvent yang
banyak dipakai dengan cukup aman, yaitu jenis “ perchloroethylene ( perch
) “. Namun dalam kondisi tertentu apabila diperlukan dapat pula ditambah
jenis bahan pembersih lainnya ( misalnya sabun drycleaning ), termasuk
bahan penetral bau minyak tersebut.
Perchloroethylene (
perch ) adalah berupa cairan minyak yang tidak dapat terbakar, tidak berwarna,
dapat menguap pada titik didih antara 110 derajat celcius dan berbau khas.
Penemu sekaligus pelopor pembuat petroleum solvent adalah seorang berkebangsaan
Amerika Serikat, bernama WJ Stoddard. Karena jasanya maka oleh
institute-institute di Amerika, namanya dikaitkan dengan hasil temuannya
tersebut, yang dikenal sebagai “ Stoddard Solvent “.
B. Proses dan tahapan dry
clean.
1. Pakaian Anda di tag dengan label yang sangat kecil dicetak dengan
kode bar yang unik pada pakaian Anda. Dengan menempatkan label di tempat yang
mencolok pada pakaian Anda. Ini adalah tindakan untuk menjaga pakaian Anda
supaya tidak campur dengan punya orang lain. Kemudian diperiksa pakaian
Anda,mungkin ada mata kancing yang hilang, terkena noda, dan terpenting
memastikan pakaian tersebut memang pencuciannya harus pakai sistem
dry clean,yaitu dengan melihat label
gambar di pakaian.
2. Noda pada pakaian dibersihkan sebelum proses drycleaning. Cukup oleskan air pada pakaian yang terdapat noda dan tambahkan
pelarut khusus untuk noda membandel (noda karena lemak atau minyak). Kemudian,
tekan dan usapkan dengan lembut pada kedua sisi kain sehingga noda tersebut
memudar. Kemudian, bilas kain, biarkan kering dan selanjutnya proses
dry cleaning.
3. Proses
Drycleaning - Pakaian
kotor dimasukkan ke dalam mesin dan dicuci dengan solvent.Pakaian kotor
ditempatkan ke dalam ke dalam keranjang pembersih, bentuknya hampir sama dengan
mesin cuci front loading , bahannya stainless steel berlubang di mana keranjang
stainless tersebut berputar. Kotoran akan dihapus dari pakaian Anda. Sistem ini
memungkinkan untuk memulihkan hampir semua pelarut yang digunakan selama
pencucian, yang lebih baik bagi lingkungan.Setelah pencucian selesai, pakaian
diperiksa kembali,apakah tetap ada noda?. Dalam kebanyakan kasus, semua noda
bisa terhapus. Tetapi beberapa noda membandel mungkin tidak sepenuhnya bisa
dihapus karena pengaruh cuaca, waktu, keausan pakaian, memudarnya warna.
4. Membuat perbaikan yang diperlukan pada pakaian yang telah dicuci
kering, pakaian kemudian dibentuk ulang, dipres setrika uap, dan . Selanjutnya
pakaian masuk ke bagian pengepakan, melalui pemeriksaan kualitas lalu
identifikasi tag kecil dengan kode bar di atasnya yang sebelumnya dipasang
untuk mengetahui siapa pemilik pakaian tersebut, lalu dikumpulkan dan dibundel.
Pakaian sudah bersih siap dikirim kembali ke pemiliknya.[1]
C. Membersihkan najis dalam
islam
Perlu
dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan,
pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis
bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan
seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca:
jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan
hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti
terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan
mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda
tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini.
Hukum
Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat
suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya
adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia
harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil
atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang
dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci.
Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
Najis
terbagi tiga antara lain
1. Najis
Mugallazah (Najis berat)
Contohnya
: najis anjing
Cara
mensucikannya : Hendaknya dibasuh tujuh kali dengan air suci lagi mensucikan,
satu diantaranya diselangi dengan tanah yang dicampur air.
2. Najis
Mukhaffafah (Najis Ringan)
Contoh :
air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI
Cara
mensucikannya : cukup dengan memercikan air pada benda yang terkena najis
3.Najis
Mutawassitah (najis pertengahan).
najis
pertengahan terbagi dua macam yaitu :
a. Najis
Hukmiah yaitu najis yang kita yakini adanya,
namun tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya. seperti air kencing yang sudah
kering. cara mensucikannyanya : cukup mengalirkan air diatas benda yang terkena
najis
b. Najis
‘ainiyah yaitu najis yang masih ada zat, warna, rasa,
baunya. cara mensucikannya : dengan mencucinya.[2]
CARA
MEMBERSIHKAN NAJIS
Sudah
dimaklumi bahwa Sayi’at Allah dan Rasul-Nya telah memperkenalkan kepada kita
eksistensi (keberadaan) barang yang najis atau yang terkena najis dan juga
telah menjelaskan kepada kita kaifiyah, cara membersihkannya. Kita wajib
ittiba’ (mengikuti) petunjuk-Nya dan merealisasikan perintah-Nya. Misalnya,
manakala ada dalil yang memerintahkan mencuci sampai tidak tersisa bau, atau
rasa ataupun warnanya, maka itulah cara membersihkannya. Apabila ada dalil yang
menyuruh dituangkan, atau disiram, atau digosok dengan air, atau digosok ke
tanah, ataupun sekedar dipakai berjalan di permukaan bumi, maka itulah cara
mensucikannya. Dan ketahuilah bahwa air merupakan pembersih aneka najis yang
utama dan pertama. Hal ini didasarkan pada penjelasan Rasulullah saw
tentangnya, dimana Rasulullah saw bersabda:
قد جعل
الله الماء طهورا
“Allah telah menciptakan air sebagai
pembersih,”
Oleh sebab itu, tidak boleh bergeser kepada
pembersih lain (selain air) kecuali apabila ada kejelasan dari Nabi saw. Jika
tidak ada dalilnya, maka tidak boleh. Karena beralih dari sesuatu yang sudah
dimaklumi sebagai pembersih (air) kepada sesuatu yang tidak diketahui berfungsi
sebagai pembersih, ini berarti menyimpang dari ketentuan Syari’ah.[1]
Jika kita sudah memahami apa yang diuraikan di
atas, maka ikutilah penjelasan syara’ perihal sifat dan kiat membersihkan
barang-barang yang najis atau yang terkena najis:
Semua ulama' madzhab 4 sepakat bahwa benda yang
digunakan untuk bersuci (bersuci dari najis dan hadats) adalah air mutlak. Hal
ini didasarkan atas firman Allah;
وَيُنَزِّل
عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
"..dan Allah menurunkan kepada kalian
hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu". (QS. Al-Anfal:
11)[3]
dan hadits;
عَنْ
أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ
تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ
ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
"Dari Asma' dia berkata, "Seorang perempuan
datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, 'Pakaian salah
seorang dari kalangan kami terkena darah haid. Apa yang harus dia lakukan? '
Beliau bersabda: "Keriklah darah itu (terlebih dahulu), kemudian bilaslah
ia dengan air, kemudian siramlah ia. Setelah itu (kamu boleh) menggunakannya
untuk menngerjakan shalat." (Shahih Muslim, no.291).
Sedangkan pencucian dengan tanpa menggunakan air, semisal
karena sudah kering terkena sinar matahari atau hembusan angin, hukumnya
diperselisihkan diantara ulama':
1. Menurut mayoritas ulama',
pencucian dengan cara tersebut tidak bisa menjadikan suci benda yang terkena
najis, ini merupakan pendapat madzhab syafi'i, maliki, dan hanbali.
2. Menurut pendapat hanafi
penyucian dengan cara tersebut sudah mencukupi jika najisnya sudah benar-benar
hilang tanpa bekas, sebab tujuan dari penyucian suatu benda adalah
menghilangkan rasa, bau dan warna najis yang menempel.[4]
Cara menghilangkan atau menyucikan najis
menurut empat madzhab
·
menghilangkan najis dengan benda cair selain
air
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Masalah dry cleaning ternyata telah dibahas tuntas oleh Madzhab Hanafi dalam kitab-kitab fiqihnya. Menurut madzhab ini, cara menghilangkan najis tidak hanya dibatasi dengan alat-alat yang telah dipaparkan oleh pengikut Syafii. Selama maksud dan tujuan dari pensucian benda tersebut telah dihasilkan maka benda itu dihukumi suci dan boleh dimanfaatkan kembali. Oleh karena itu, pensucian benda atau pakian dengan cara pengeringan baik melalui sinar matahari maupun lainnya sudah sangat mencukupi. Karena inti dan tujuan dari penyucian benda itu adalah menghilangkan rasa, bau dan warna najis yang menempel. Bukankah cara ini lebih simpel dan menjadikan pakaian kesayangan kita akan terasa semakin awet serta jauh dari kerusakan.[5]
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Masalah dry cleaning ternyata telah dibahas tuntas oleh Madzhab Hanafi dalam kitab-kitab fiqihnya. Menurut madzhab ini, cara menghilangkan najis tidak hanya dibatasi dengan alat-alat yang telah dipaparkan oleh pengikut Syafii. Selama maksud dan tujuan dari pensucian benda tersebut telah dihasilkan maka benda itu dihukumi suci dan boleh dimanfaatkan kembali. Oleh karena itu, pensucian benda atau pakian dengan cara pengeringan baik melalui sinar matahari maupun lainnya sudah sangat mencukupi. Karena inti dan tujuan dari penyucian benda itu adalah menghilangkan rasa, bau dan warna najis yang menempel. Bukankah cara ini lebih simpel dan menjadikan pakaian kesayangan kita akan terasa semakin awet serta jauh dari kerusakan.[5]
Rujukan imam hanafi Ini berdasarkan firman Allah
SWT,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)
Maksudnya, “Dan pakaianmu, maka hendaklah engkau
bersihkan.” (Al-Muddathir: Suruhan membersihkan itu adalah bersifat mutlak,
tanpa mengaitkannya dengan sesuatu seperti air. Justeru, sesiapa yang
membataskannya hanya membasuh dengan air sahaja, maka ia telah menambah nas
tanpa di sandar kepada dalil.[6]
Pendapat
kedua, najis tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Ini pendapat madzhab
Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad dan Zafar dari madzhab Hanafi.
·
menghilangkan najis dengan alat modern
o menghilangkan najis dengan uap
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis. Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis. Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan memakai air untuk menghilangkan najis.
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis. Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis. Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan memakai air untuk menghilangkan najis.
·
Menghilangkan najis dengan digaruk dan digosok
Ada tiga
pendapat ulama dalam soal in:.
Pendapat
pertama: Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggosok najis dapat menyucikan pada
sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus kaki khusus musim dingin).
Maka menggosok tidak dapat menyucikan baju kecuali mani (sperma) saja. Mereka
mensyaratkan najis tersebut harus berupa benda padat (jazm). Apabila berupa
kencing maka tidak dapat disucikan dengan digosok atau dikerik dan harus
dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua tentang apakah disyaratkan dalam benda
padat itu kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri mensyaratkan harus
kering. Kalau basah maka harus dibasuh dengan air. Sedangkan Abu Yusuf tidak
mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat yang basah juga bisa disucikan
dengan digosok atau dikerik.
Pendapat
kedua, madzhab Maliki membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Apabila kaki
terkena najis, maka harus disucikan dengan air. Adapun sandal dan muza (khuf),
maka menggosok hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan dan kencingnya
baik kering atau basah. Apabila najisnya itu selain dari kotoran hewan dan
kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.
Pendapat
ketiga, wajib membasuh kaki perempuan dan muza secara mutlak. Ini pendapat Qaul
Jadid dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim dari madzhab Syafi'i
adalah membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Maka, kaki wanita harus
dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak perlu membasuh najis yang
mengenai bagian bawah sandal setelah digosok apabila dalam keadaan kering.
·
Menghilangkan najis dengan sinar matahari
Ada dua
pendapat ulama dalam soal ini.
Pendapat
pertama, madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi apabila terkena najis lalu
kering oleh sinar matahari maka ia menjadi suci dengan kesucian yang bersifat
dugaan (dzanni) yakni boleh melakukan shalat di tempat itu tapi tidak boleh
bertayammum dengannya karena salah satu syarat tayammum harus dengan tanah yang
pasti sucinya (QS An-Nisa 4:43).
Pendapat kedua, madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Zafar dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering. Maka tidak boleh melaksanakan shalat di tempat itu juga tanahnya tidak boleh dibuat tayammum.[7]
Pendapat kedua, madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Zafar dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering. Maka tidak boleh melaksanakan shalat di tempat itu juga tanahnya tidak boleh dibuat tayammum.[7]
Jadi kesimpulannya, pencucian dengan cara dry clean
menurut pendapat mayoritas ulama' belum dianggap suci sebelum dibilas dengan
air. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah sudah dianggap suci. Wallahu a’lam.ه
Larangan Tentang penggunaan PERC Pada Dry Clean
Perancis
telah memutuskan untuk melarang bahan kimia utama yang digunakan dalam dry
cleaning. Perkloroetilena, juga dikenal sebagai PERC atau tetrachloroethylene,
adalah pelarut teratur digunakan dalam dry cleaning. Ini cairan bening untuk
menghilangkan noda dan kotoran dari semua jenis kain. Ini efektif dan murah,
itulah sebabnya 95% dari pembersih kering di Eropa menggunakannya setiap hari.
Tapi, perkloroetilena juga merupakan bahan kimia beracun. Badan Internasional
Organisasi Kesehatan Dunia untuk Penelitian Kanker daftar perkloroetilena
kategori A2 mereka, berarti itu 'mungkin karsinogenik bagi manusia'.
Sebagai
tanggapan, pemerintah Perancis telah memperkenalkan hukum baru yang melarang
penggunaan PERC di pendirian dry cleaning. Larangan itu mulai berlaku penuh
pada tahun 2020. Langkah ini mengikuti hukum yang serupa berlalu di Denmark dan
Amerika Serikat.
Nicolas
de Bronac adalah pendiri Sequoia, bisnis dry cleaning hijau di Perancis. Dia
telah menyambut keputusan pemerintah. Empat tahun lalu, ia mendirikan sebuah
perusahaan, yang menggunakan silikon cair bukan PERC untuk mengeringkan pakaian
bersih. "Konsep kami adalah bertanggung jawab. Itu lebih baik bagi
orang-orang yang bekerja di toko karena perkloroetilena sangat berbahaya,"
kata de Bronac dalam sebuah wawancara. Silikon cair adalah tidak berbau, tidak
berwarna pelarut, biasanya digunakan dalam kosmetik, shampoo dan deodoran.
GreenEarth perusahaan AS Membersihkan mengembangkan proses silikon dry cleaning
cair pada tahun 1999. Ketika dilepaskan ke lingkungan, silikon cair terurai
menjadi pasir, air dan karbon dioksida. Silikon cair dipandang sebagai
alternatif terbaik untuk PERC, tetapi beberapa ilmuwan telah menyatakan
keprihatinan bahwa bahan kimia ini digunakan sebelum analisis lengkap dampaknya
terhadap manusia dapat diselesaikan. Pemerintah Kanada dan Inggris telah
menyatakan silikon cair 'tidak berbahaya' bagi lingkungan tetapi, secara
global, ada konsensus ilmiah.
Sebagai
bagian dari larangan PERC dry cleaning, pemerintah Perancis berencana untuk
menghapus 4800 mesin perkloroetilena seluruh negeri. Ini berarti banyak
pembersih kering tradisional akan swapping PERC untuk metode yang lebih ramah
lingkungan.
Selain
tentang cairan PERC ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam pemakaian
Cairan ini. Berikut merupakan kutipan dari bebrapa Blog yang membahas masalah
Dry clean
Syahril
mengatakan, kebanyakan kedai cucian kering atau dry cleaning di negara ini
masih menggunakan bahan yang dipanggil solvent perchloroethylene (Perc).” Perc tersebut biasanya digunakan berkali-kali bagi mencuci baju dengan dikitar semula. Hanya setelah Perc didapati kotor, proses penyulingan atau distillation digunakan bagi membuang kotoran.
” Perc yang dikitar semula itu akan menyebabkan ia berubah menjadi mutanajis atau sekurang-kurangnya mustaqmal, sedangkan dalam Islam untuk mencuci kita hanya dibenarkan menggunakan air mutlak[8]
PENUTUP
Dari
kesimpulan diatas bukan berarti Dry clean dilarang dalam islam, selama pakaian
yang dicuci dengan Dry clean tidak terdapat najis, kami rasa tidak apa-apa.
Yang perlu diingat adalah bahwa terdapat suatu kaedah penting yang harus
diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci.
Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan
dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan
dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal
yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. Menyatakan sesuatu itu najis
berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
Jadi
kesimpulannya, pencucian dengan cara dry clean menurut pendapat mayoritas
ulama' belum dianggap suci sebelum dibilas dengan air ( Najisnya belum hilang ).
Sedangkan menurut imam Abu Hanifah sudah dianggap suci (Najisnya diangap hilang
).
Terlebih
lagi adanya larangan tentang cairan yang digunakan dalam Dry clean Alangkah
baiknya jika Kita tetap menggunakan air (mutlak) sebagai syarat utama dalam mengghilangkan najis pada
pakaian yang sudah terjamin dalam segi kesehatannya.Wallahu a’lam bish Shawabi.
.
DAFTAR PUSTAKA
http://neatlaundry.blogspot.com/2012/11/dry-cleaning-proses.html,
diakses pada 22 Februari 2015.
https://fiqihimamsyafii690site.wordpress.com/tag/cara-membersihkan-najis/,
diakses pada 22 Februari 2015.
http://www.fikihkontemporer.com/2013/11/hukum-pencucian-dry-clean-tanpa.html,
diakses pada 22 Februari 2015.
http://www.alkhoirot.net/2012/05/najis.html,
diakses pada 22 Februari 2015.
https://syahrilkadir.wordpress.com/2012/04/19/dry-cleaning-haram/,
diakses pada 22 Februari 2015.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf. Bandung:
PT. Alma’rif,1997.
[2] https://fiqihimamsyafii690site.wordpress.com/tag/cara-membersihkan-najis/, diakses pada 22 Februari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar